Sang Kunang



 Sang Kunang 
           
              Terpelosok jauh dari kota yang penuh kemajuan tekhnologi modern. Terdapat perkampungan Gerong. Perkampungan yang terletak sangat jauh dari akses kemajuan zaman. Tertutup dari dunia luar membuat penduduk kampung bertahan dengan kebudayaan warisan para leluhur mereka. Bertahan dari alam untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Cukup hanya tumbuh-tumbuhan yang dapat mereka konsumsi. Karena mereka tak memakan daging. Bukanya tidak ingin, tapi mereka tak suka membunuh mahkluk hidup. Mereka mempercayai bahwa di kehidupan ini mereka diciptakan sama bernyawa tapi berbeda rupa. Bersatu saling berdampingan dengan alam membuat para penduduk disana saling menjaga. Tentram dan damai itulah yang dirasakan. Terletak di antara bukit-bukit tinggi disertai batas sungai yang dalam. Terpencil di tengah luasnya alas rimba. Berbaur dengan hijaunya lumut dan dedaunan itulah perkampungan Gerong.
            Setiap sang surya hampir tenggelam di ujung barat. Para penduduk bergegas memasuki rumahnya masing-masing. Bukannya takut akan hewan buas atau monster yang mengerikan, tapi takut akan gelapnya hitam malam. Disana tidak ada penerangan apapun. Tiada lampu, tiada lilin, tiada obor. Mereka juga tak mengenal panasnya api. Mereka percaya api itu sebagai petaka pembawa bencana. Karena api simbol dari roh-roh jahat.
 Tapi disetiap malam bulan purnama. Semua penduduk berkumpul di luar rumah. Dengan bantuan cahaya bulan mereka mendengar cerita dari sang Tetua. Bercerita akan kehidupan para roh yang dipercaya para penduduk selalu mendampingi mereka. Jiwa yang ditinggal roh berkumpul di langit mengelilingi terangnya bulan. Berkelap kelip menemani keluarga yang berada dibawah indahnya langit.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh memecah keheningan malam, terlihat dari atas terangnya langit bulan. Mengagetkan seluruh orang-orang disana. Benda terbang itu mereka biasa sebut roh yang hidup. Yang orang kini sebut pesawat terbang. Pesawat itu tiba tiba terbakar dibagian sayap kiri. Pesawat itu pun jatuh di tengah hutan tak jauh dari perkampungan itu."Tak biasa roh itu jatuh, biasanya lewat melintasi langit,"kata hati Tetua. Segera Tetua pun menyuruh para penduduk untuk masuk ke dalam rumahnya masing-masing. Mereka tidak berani menghampiri benda jatuh tersebut. Terang dari rembulan mulai hilang disuasana yang mendung mau hujan. Berkumpul setiap keluarga dengan  berhangatkan alang-alang kering. Rasa ingin tau apa yang terjadi terhapuskan akan gelapnya malam. 
Fajar tiba dengan suasana pagi dingin diembun dedaunan hijau. Para penduduk terbangun dari tidurnya. Tetua pun mengumpulkan para lelaki untuk memeriksa benda jatuh dari langit semalam. Tidak begitu lama berjalan menuju benda jatuh tersebut. Terlihat asap bekas kobaran api dari puing-puing pesawat yang terbakar dari kejauhan. Sang Tetua pun memerintahkan para laki-laki untuk memeriksa di setiap sudut puing-puing. Dikagetkan akan mayat-mayat yang bergeletakan diantara puing-puing pesawat. Tetua menyuruh para lelaki untuk mengumpulkannya. Tiba-tiba terdengar suara tangisan dari balik mayat seorang perempuan. Tenyata seorang bayi laki-laki usia sekitar satu tahun yang menangis lesu. Pesawat itu tampanyak milik sebuah keluarga. Tetua itupun menggendongnya di pelukanya dan menyuruh para lelaki unuk memakamkan mayat-mayat tersebut. Mayat yang berjumlah lima itu di bunkus dedaunan satu persatu. Direkatkan dengan tali akar pohon bringin. Ditaruhnya diatas sebuah pohon bringin yang usianya hampir 1000 tahun. Berdiameter lima meter membuat pohon itu sangat di sakralkan para penduduk kampung Gerong. Satu persatu mayat ditaruh diatas pohon dan dililitkan akar bringin yang menggantung. Penduduk percaya bahwa roh-roh mereka akan terjaga oleh pohon bringin tersebut.
Seorang bayi yang selamat dari tragedi itupun dijadikan satu keluarga di kampung Gerong. Tetua memberinya nama kunang sang pemberi cahaya. Tetua berharap bahwa namanya akan menjadikan anak ini sebagai penerang di kampung Gerong. Selamat dari tragedi yang mengerikan itu menjadikan warga percaya bahwa semua ini sudah ditakdirkan.
Hari demi hari sang kunang tumbuh diantara penduduk pedalaman itu. Mengenal setiap kebudayaan yang dikenalkan para orang orang Gerong. Sepuluh tahun tinggal dan tumbuh di perkampungan Gerong. Sang kunang tumbuh menjadi anak yang pandai. 
Suatu hari kunang bermain dengan empat temannya. Gon gon anak laki-laki yang suka makan dan tidur, perutnya yang gempal membuatnya dipanggil endut. Salji anak laki-laki yang pandai mencari akal untuk bermain. Sin anak lelaki yang paling pendek dan suka jail. Terakhir seorang perempuan satu-satunya dari berlima sahabat itu. Namanya zena gadis seorang pemimpin di kampung Gerong yaitu sang Tetua.
Mereka berlima bermain bersama disaat ada kesempatan. Namun di kapung gerong terdapat peraturan bahwa tidak ada orang yang boleh melewati batas kampung. Yaitu garis sungai. Mereka percaya bahwa batas sungai adalah pelindung kampung dari sesuatu yang bersifat negative.
Suatu hari seperti hari-hari biasanya. Kelima sahabat itu berkumpul di tempat persembunyian rahasia dimana para sahabat itu bermain. Tempat dibawah akar pohon beringin yang sudah tumbang. Terdapat lubang yang dijadikan tempat rahasia mereka. Mereka biasa bermain tangkap binatang. Mereka bukan mau menjadikan hewan tersebut makanan, tapi dijadikan teman. Perkampungan yang dikelilingi sungai ini, dan dimana hewan tak diburu manusia membuat makhluk hidup disini berlimpah dan ramah sama manusia. 
Gerang, sebuah permainan yang mengharuskan pemain untuk mencari hewan terbesar. Dimana yang dapat menangkap hewan terbesar akan jadi pemenang. Kelima sahabat itu memulai permainan. Semua berpencar dengan cara masing-masing untuk memenangkan permainan. Waktu permainan akan habis ketika matahari mulai tenggelam. Karena mereka harus kembali ke perkampungan.
Tak begitu lama, Salji melihat incaranya. Seekor anak rusa betina. Rusa itu sedang mencari makan disemak-semak. Sendiri, mungkin terpencar dari induknya. Salji perlahan-lahan menghampiri. Menggunakan buah ceri ditanganya ia mulai mendekat. Rusa itupun mulai mendekat dan mengendus buah ceri itu. Dengan perlahan rusa itu melahap buah ceri itu. Tangan Salji itupun perlahan mengelus kepalanya. Rusa itupun diam dan menunduk. Salji pun mengelus dengan kedua tangan. Ia pun membawa rusa itu. Dengan tali dari akar ia membawa rusa itu ke tempat persembunyian.
            Sin pun mendapat buruannya. Seekor babi hutan. Dilanjutkan Zen yang mendapatkan seekor burung unta. Tak ketinggalan pula si Endut Gon Gon. Ia mendapat seekor koala yang berada dipunggungnya. Keempat sahabat itu telah berkumpul di tempat persembunyian. Tinggal seorang yang belum datang, yaitu Si Kunang. Jauh dipinggiran hutan disebuah sungai Si kunang terlihat. Ia bukan  lagi mencari hewan buruannya, tapi rasa penasaran yang berada dipikiranya akan dunia luar di seberang sungai. Tapi larangan dari Sang Tetua tak boleh menyebrangi perbatasan sungai. Si Kunang terus menyusuri sungai tersebut. Tak begitu lama, ia di berada di ujug sungai. Air yang mengalir menuju kebawah tanpa ada ujung tertutup kabut mengagekannya. Sebuah air terjun.
            Keempat sahabat Kunang telah lama menunggu. Kekhawatiran mereka akan kunang mulai terbayang. Mereka memutuskan untuk mencari Kunang. Mereka berpencar. Karena waktu malam mulai tiba. Mereka memutuskan untuk kembali ke perkampungan. Mereka bercerita tentang hilangnya Kunang kepada Sang Tetua. Malam yang telah datang membuat sang Tetua tak berani menyuruh para warga untuk mencarinya. Ia melepaskan seekor burung hantu yang dapat melihat dalam kegelapan untuk mencarinya.
            Di ujung sungai.Sang Kunang berdiri. Rasa penasaran Dia akan apa yang ada di bawah air terjun membuatnya lupa akan malam yang telah tiba. Ia pun kebingungan. Mau kembali pulang tapi ia tak melihat jalan. Gelapnya malam menutupi pengelihatanya. Ia pun hanya duduk ditempat ia berdiri. Tiba-tiba sebuah cahaya memancar dari dasar sungai. ia ingin menuruninya, tapi langkahnya terhenti. Seekor burung hantu menghampirinya. Ia tahu bahwa orang-orang sedang mengkhawatirkanya. Dengan mengikatkan tanganya dengan seutas akar dengan kaki burung hantu ia pulang. Burung hantu itu pun terbang dengan rendah. Dengan tali yang terikat,   Ia tinggal berjalan di tengahnya malam mengikuti arah yang ditujukan oleh burung hantu.
            Tak lama kemudian Ia pun sampai di perkampungan. Perkampunga terlihat sepi. Hanya seseorang yang berada di tengah perkampungan. Dengan sedikit bantuan cahaya bintang wajahnya mulai terlihat. Ternyata sang Tetua. Burung hantu itupun mendarat di bahu Tetua. Kunang pun meminta maaf kepada Sang Tetua. Ia menceritakan semua yang terjadi. Tapi Sang Tetua dengan wajah dingin menyuruh Kunang untuk langsung tidur bawah dipohon bringin. Sang Kunang pun mematuhinya dan segera menuju pohon bringin yang besar itu.
            Keesokan paginya. Orang-orang mulai keluar dari rumahnya. Kunang yang masih tertidur di pohon bringin terbangun. Karena dikagetkan keempat sahabatnya. Keempat sahabat itupun bertanya-tanya akan keberadaanya kemarin. Sang kunang pun menceritakan semuanya pada keempat sahabatnya itu. Ia pun mengajak keempat sahabatnya itu ketempat yang ditemukanya kemarin. Tapi Sang Tetua melarangnya dan menyuruh Kunang untuk masuk ke dalam rumah. Kunang memberitahukan kepada temannya untuk menunggunya di tempat persembunyian. Sang Tetua menghukum kunang untuk tidak keluar dalam rumah.
            Dengan akal cerdiknya, Kunang keluar rumah melalui lubang rahasianya yang Ia buat di balik dinding. Ia pun menuju ke tempat persembunyiannya. Setelah tiba Ia mengajak keempat sahabatnya menuju ketempat yang Ia janjikan. Setelah menyusuri sungai begitu lama. Akhirnya mereka semua sampai di ujung sungai. Dasar sungai yang tak terlihat membuat keempat sahabat Kunang terpaku. Kunang menceritakan cahaya dari dasar sungai yang Ia lihat waktu di malam itu. Dengan rasa penasaran yang amat tinggi. Ia memberanikan diri mencoba turun ke bawah. Teman-temanya melarangnya. Tapi tetap saja digubrisnya. Dan akhirnya teman-temanya mengikuti kemauan si Kunang. Satu demi satu kelima sahabat itu turun, langkah demi langkah kaki diinjakan ke bebatuan.
            Tak lama kemudian, melewati kabut bercampur percikan air terjun. Terlihat dasar air terjun. Tiba-tiba si Gon gon yang paling belakang terpeleset. Tergelincir dan jatuh kebawah. Menimpa dan membuat keempat teman lainya ikut terjatuh. Terguling-guling dari atas dan terhenti kedasar.
            Kurang lebih setengah jam pingsan mereka terbangun. Mereka terkejut karena badan mereka terikat di batang pohon. Dan terlebih terkejutnya lagi mereka melihat sebuah kincir angin raksasa di bawah air terjun. Seseorang mengagetkan mereka. Ternyata mereka yang tinggal di bawah sini.
            Desa Terjun. Mereka tinggal dibawah air terjun. Pemikiran mereka sedikit lebih maju. Mereka mengenal adanya listrik dan tata krama. Pemimpin disana bertanya kepada kelima sekawan tersebut tentang dari mana asal mereka. Tapi mereka tak mengerti apa yang diucapkan oleh pemimpin tersebut. Bahasa yang digunkan ternyata berbeda. Itu mempersulit unuk menjelaskan semua kepada mereka. Sang kunang dan teman-temanya pun kebingungan apa yang harus dilakukan. Kunang kebingungan mengapa mereka diikat. Mereka merasa bahwa tak melakukan kejahatan. Kecuali menerobos masuk desa. Tapi itu juga dilakukan dengan tanpa sengaja.
            Setelah beberapa saat mereka dibawa kesebuah kurungan. Merekapun dilepaskan ikatanya dan dimasukkan kedalam kurungan satu per satu. Ternyata di dalam kurungan ada banyak anak anak seperti mereka. Kunang mencoba bertanya. Ternyata mereka mengerti bahasa yang diucapkan kunang. Mereka bertanya tentang tempat ini. Salah satu anak menjelaskan semua. Bahwa dulunya disini ada sebuah desa yang damai. Sampai ada sekumpulan penjahat yang menjajah tempat ini. Mereka membunuh para orang dewasa dengan pisau dan senjata api. Darah dimana-mana. Tapi mereka tak membunuh anak kecil. Mereka memasukkanya ke kurungan. Mereka menjual anak-anak ke pedagang gelap untuk dijadikan budak. Menyuruh bekerja untuk mereka. Dilatih untuk menjadi penjahat dan perampok. Dan sebagian dijadikan budak Mereka. Para penjahat memanfaatkan tempat ini untuk persembunyian. Lokasi yang strategis dan tersembunyi. Mereka adalah penjahat tersadis dan tanpa belas kasihan. Menginginkan apa yang bukan hak mereka. Memaksa apa yang ingin didapatkannya.
            Selama tiga hari mereka terperangkap bersama segerombolan penjahat itu. Sedangkan para warga Gerong berusaha mencari keberadaan mereka. Kunang dan teman-teman bersama anak anak lainnya disuruh bekerja. Mereka melihat kekejaman para penjahat itu. Dengan cambuk mereka memaksa untuk bekerja. Kunang mencoba mencari cara untuk membebaskan teman-temanya dari para penjahat ini. 
            Keesok harinya mereka terbangun. Keluar dari kurungan dan disuruh berbaris di tengah lapang. Ternyata hari ini adalah hari seleksi. Dimana ada seseorng anak akan dijual kepedagang gelap. Untuk di tukarkan dengan uang atau senjata. Ternyata yang terpilih adalah Sin. Salah satu teman kami akan dijual. Dia menangis dan dibawa penjahat menggunakan perahu. Kunang hanya dapat terdiam dan marah didalam hati. Setelah itu kami di perkerjakan kembali.
            Malam harinya kunag dan teman-temannya masih tidak percaya bahwa akan kehilangan satu temannya. Ditambah dengan kesehatan Gon-gon yang semakin melemah. Tubuhnya yang tidak terbiasa harus makan sehari sekali. Membuat tubuhnya lemah dan sakit. Keadaanya semakin parah. Segera Kunang pun berteriak dan memanggil para penjahat. Tapi Rema menghentikan teriakan Kunang. Rema menjelaskan bahwa jika salah satu dari kita ada yang sakit maka akan dibuang. Para penjahat tidak akan menyembuhkan pada anak yang sakit. Mereka malahan akan membuangnya kehutan atau kesungai. Dan jika semakin parah maka akan lebih baik mereka dibunuh.

Bersambung. . .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pantai Gua Manik, Jepara

Gunung Cengklik, Puncak Bicak - Todanan, Blora

Pulau Panjang Jepara Seru Buat Ngecamp